Sunday 22 January 2017

Behind The Name



Big Brave Thing.
Tiga kata itu memang yang pertama ada di kepala saya ketika membayangkan tentang pernikahan, beberapa tahun lalu. 
Marriage leads to one and another new big responsibility dan dibutuhkan keberanian besar (bagi saya) untuk memulai fase itu. Bahkan, tadinya tiga kalimat itu mau dijadiin tulisan di dalam cincin kawin saya segala. Untuk pengingat bahwa hal besar ini sudah saya ambil dan pikirkan dengan matang. Tapi kok kesannya jadi terlalu bitter ya. Hahaha.
As a woman with commitment issue, jelas aja menikah dan kehidupan setelahnya adalah sebuah keputusan besar buat saya. Dan jujur, menakutkan di awal.

Mungkin juga karena kebanyakan nonton serial tentang kehidupan perempuan-perempuan young adult hingga fase adult, yang bikin saya selalu berpikir beberapa ratus juta kali sebelum memutuskan menikah.
Eh bentar dulu, bukan masalah saya enggak bisa setia, ya. Masalah komitmen ini enggak sesederhana itu. Ini lebih tentang punya suatu kewajiban di mana kita harus memutuskan segala hal enggak cuma di tangan kita.
Dan saya lihat kehidupan setelah menikah itu bikin jiper karena kita harus share tujuan hidup sama seseorang. Kalau tujuannya enggak tercapai, saya takut malah menyalahkan orang itu. Kalau nanti saya enggak bahagia, saya takut pasangan saya nanti kena dampaknya. Karena kalau boleh ngaku, saya ini orangnya agak kompleks. Dan keras kepala. Yes I must admit :p
Belum lagi kalau ternyata tujuan kita beda, gimana?
Enggak beres di situ aja, masih banyak kejutan lain di kehidupan setelah menikah. Mulai kehidupan yang penuh cicilan, artinya perlu berkomitmen ke bank buat bayar cicilan sekian tahun. Kemudian komitmen yang lebih besar, memiliki anak.
Long story short, sampai akhirnya saya sudah yakin dengan pasangan, kami pun memutuskan untuk menikah 1 tahun 4 bulan lalu. Dan sejauh ini saya enggak pernah menyesal. Bersyukur bertemu dengan sosok yang tepat, sehingga semuanya bisa dinikmati. Seperti saran ibu saya, jangan dibawa stres. Harus dinikmati. Awalnya kalimat itu terlalu sulit dicerna, tapi kemudian saya paham artinya.
Setelah mengalahkan ketakutan atas komitmen yang pertama, tantangan selanjutnya adalah menghadapi komitmen kedua.
Jeng jengggg……
Mencicil untuk properti pertama! Setelah hampir 1,5 tahun saya dan suami ngekos, kami akhirnya merasa harus memaksakan diri memiliki tempat tinggal permanen. 
Dan berasa deja vu sih ini hahahaha. Terakhir kali obsessively browsing this and that adalah ketika persiapan resepsi pernikahan. Sekarang lagi-lagi saya harus berurusan dengan kebanyakmauan yang kebentur bujet :)))
Lyyfeeeee~
Postingan selanjutnya kayaknya akan dipenuhi cerita-cerita perjuangan kami mencari, menemukan, dan membangun rumah pertama yang pastinya, sama sekali enggak mudaaaah T_________T *bayanginnya aja udah stres duluan*
Wish us luck, will you? And surely best wishes for you too! <3

No comments:

Post a Comment