Sunday 8 October 2017

Pelajaran Hidup dari Menonton Game of Thrones



Melihat Arya, saya seperti melihat diri sendiri.

KALIMAT PERTAMA AJA UDAH BIKIN MALES NGGAK SIH? :’))))

Tapi serius, kalau melihat ke belakang, saya sendiri enggak nyangka kenapa serial ini mencuri perhatian saya sejak episode pertama. Sampai sekarang, masih rela-rela aja nunggu 2 tahun sampai season selanjutnya meski season 7 kemarin agak below my expectation.

Kenapa tiba-tiba mikir kayak gini? Jadi, beberapa waktu lalu saya sempet heran, kenapa serial Game of Thrones (GoT) ini lekat banget image-nya sama seksualitas. Ditambah setiap ada trivia seputar GoT, dari segambreng fakta menarik, unsur seksualitas ini sering kali yang dihighlight dan dijadikan thumbnail. Bahkan GRRM sempet disentil berkali-kali sama para feminis dunia about how he portrayed woman in this series.

Padahal di season 6 awal, saya merasa it’s about the queens who run entire Westeros! (Margaery, I put my hope on you, once). Ah, atau mungkin saya dibutakan hal lain hingga kurang sensitif.

Saya enggak lupa sih, adegan di mana Tyrion dikelilingi pelacur ketika di Winterfell, pernikahan dan malam pertama Daenerys bareng Khal Drogo, beberapa scene di mana Daenerys tampil tanpa busana. Saya juga masih inget resurrection epic Jon Snow yang fenomenal itu. Iya juga sih, daging-daging berkelebatan di film ini. Tapi anehnya, saya melihat film ini lebih dari itu. Bukan sok-sokan dengan lihat film ini lebih filosofis apalagi historis, justru sesederhana saya melihat sosok saya di diri Arya (please jangan menyesal atau berhenti baca ini lololololol).

Hfft, bisa jadi malah faktor itu yang bikin saya tergerak nonton series ini, selain YBS yang sering bahas dan yakin saya bakalan suka. Jadi beberapa tahun lalu sebelum saya menonton GoT, ada 2 teman yang komen di Path saat saya posting pas foto SD. Katanya saya mirip Arya HAHAHAHAH.

Bukan Arya yang versi Maisie Williams begini ya:
picture from here
Melainkan, yang versi Arya season 1:




Jadi saya penasaran terus nonton dan punya pendapat lain, bahwa kakak perempuan saya sangatlah Sansa!

Mungkin dua hal itu yang bikin saya langsung menikmati season satu episode pertama Game of Thrones. Mengingatkan masa kecil dulu, ketika hubungan kakak beradik sesama cewek dipenuhi friksi-friksi konyol yang khas. Juga mengingatkan keinginan masa kecil, betapa saya ingin punya kakak cowok.

Dan bikin saya kangen sama sosok yang enggak pernah ada, ketika lihat perbincangan Arya dengan Jon Snow. Jon itu kayak sosok kakak yang selalu ada di dunia imajiner saya dan kemudian saya lagi-lagi disadarkan bahwa dia sebenernya enggak pernah ada.

Nah, di luar segala imaji seksualitasnya, saya justru punya banyak pelajaran tentang pengalaman hidup dari serial game of Thrones ini. Di antaranya~~~

Buat saya, Game of Thrones ngasih gambaran unik soal politik

Saya mulai nonton Game of Thrones ketika masa-masa season 4 akan tayang. Ybs udah nonton duluan, tapi nonton ulang buat nemenin saya.

“Sama tuh kayak curhatan kamu soal kantor. Setiap orang punya agenda politiknya sendiri. Buat Petyr Baelish, chaos is a ladder. Dia bukan ksatria, bukan anak dari kerajaan, enggak bisa berantem, tapi dia punya mind trick. Ada juga Cersei, yang tujuan hidupnya tuh kekuasaan, sampe bisa ngelakuin apa aja. Jadi orang yang kayak gitu meski emang licik juga tetep harus pinter. Kamu bisa lihat mapping politik kantor juga nih dari sini, dan belajar baca pikiran mereka.”




“Aku Stark (Masih halu. Sampe sekarang). Tapi kok enggak ada happy ending buat orang yang lempeng-lempeng aja dan cuma mau kerja?”

“Nah, orang lempeng juga harus bisa baca situasi.”

Salah satu alasan betah nonton ini juga karena saya mengakui kebutaan saya akan trik-trik politik sedikit banyak menemukan pencerahan. Awal nonton ini emang pas saya lagi sering ngeluh soal suasana tempat bekerja sebelumnya. Yang enggak mau terlibat pun ujung-ujungnya keseret mulu. Dan sempet pesimis, ‘Kalau gw gini terus, gw mati kali ya kayak Ned?’.

Turns out, other Stark can survive the chaos and mastered their own ability! Woo-hoo! The hope is there~~~

Di Game of Thrones kita ditunjukkin bahwa orang itu enggak ada yang 100% jahat. Tergantung dari mana kita melihat.

Every character through a lot of journey in the past 7 season. Contohnya Jamie Lannister. Di awal dia menyebalkan sekali kan ngedorong adikku (Maksudnya Bran. Halu part sekian.) dari jendela menara. Apalagi waktu jadi tahanan Catelyn, mulutnya minta dicabein. Kemudian kesan tentang Jamie berubah ketika dia menghabiskan berhari-hari dengan Brienne.

Dan makin ke sini, peran Jamie jadi makin simpatik (Apalagi sejak rambutnya dipotong! Uwuwuw~). Bukan hanya Jamie (and now I’m 100% rooting for him!), tapi dari setiap tokoh, kita diajak untuk memahami apa alasan dia berbuat sesuatu.




Kenapa sih Theon itu useless banget (kecuali pas nyelametin Sansa)? Well, dia jadi tawanan sejak kecil, disiksa sangat nggak manusiawi oleh Ramsay, kemudian mendapati saudara ceweknya lebih jago berantem dan jadi harapan keluarga ketimbang dia.

Kenapa Cersei ngeledakkin gedung pakai wildfire? Kenapa Sansa masih aja melihara Littlefinger di Winterfell? Kenapa Arya dan Sansa nggak saling ngobrol aja sih ketimbang keki-kekian sisaan cemburu masa kecil?

Banyak hal yang kalau dilihat sepintas kelihatan absurd, tapi ketika dive deep the characters, kita paham kenapa dia bisa kayak gitu. Ini bikin saya juga lebih memahami ketika ada orang di sekeliling berlaku absurd -_____- Jadi lebih maklum karena menganggap pasti ada alasan-alasan yang saya enggak tahu (dan gak perlu tahu).


Kalau mau dinilai atas kemampuan kita (apa yang kita bisa – bukan apa yang kita punya), harus melewati fase pembuktian dulu


Ah. I hate Danny with all her speech. Sombong dan delusional banget. Sejujurnya saya enggak terlalu suka sosok Daenerys (tapi kusuka Emilia Clarke!). Kayak halu gitu. As if semua orang bisa nurutin dia mentang-mentang dia punya naga. Ya iya sih sebenernya wajar mungkin ya. Secara, NAGA!

Tapi apa banget nggak sih kalau kita cuma bermodal kemampuan super, kemudian masuk ke lingkungan baru udah minta semua orang tunduk ke kita meski belum berkontribusi apa-apa?

Ini bisa banget jadi penyemangat ketika masuk lingkungan baru, misalnya kantor baru. Fase awal itu pembuktian, sampai akhirnya kita meraih apa yang pantas didapatkan. Nggak bisa lah, awal masuk kerja langsung dipercaya ina-ini-itu kalau belum nunjukkin pencapaian apa-apa.


Game of Thrones juga semakin meyakinkan saya bahwa: Jangan terlalu mudah dan terlalu percaya orang. But handle your tightest circle with care.


Karena manusia cenderung melakukan apa yang bisa menguntungkan dirinya. Kecuali mereka yang beneran peduli sama kita. Makanya penting banget untuk memelihara tightest circle and try not to make them down.

Penting juga untuk punya orang yang bisa dipercaya apalagi bisa jadi wing man kita. Seperti Tormund untuk Jon Snow, Jorah untuk Daenerys, Bronn untuk Jamie, Brianne untuk The Stark, Qyburn untuk Cersei, dan lainnya.


Hubungan keluarga itu rumit. Apalagi kalau pake gengsi.



Kadang kita lupa betapa berharganya punya kakak atau adik ketika kita terlalu intens dengan mereka. Terlalu ada setiap saat, sampai lupa rasanya kehilangan. Tapi kadang ketika bertemu lagi setelah lama berpisah, terlalu susah melepas ingatan tentang masalah-masalah di masa lalu. Meski kangen dan membutuhkan, tapi ada kompetisi, ada gengsi. Bikin susah buat diskusi.

Kenapa sih Arya nyebelin banget ke Sansa? Sebaliknya juga. Kenapa enggak ada pelukan atau obrolan hangat setelah masing-masing melewati masa-masa sulit? Kenapa malah saling obral kekuatan dan perjuangan?

Kenapa Tyrion bener-bener enggak dihargai sama keluarganya karena dia berbeda? Apa Tywin, sebagai sosok yang sangat direspek, segitu mikirin gengsi pribadi dan pendapat orang sehingga sulit menyayangi anaknya yang lahir kerdil? 




Padahal Tyrion kurang apa sih berjuang pas Blackwater War. Tapi mungkin memang rumit dan enggak sesederhana itu. Karena masing-masing punya alasan (kembali ke poin 2). Setiap keluarga punya masa lalu.

The lone wolf dies, and the pack survive.



Quotes yang tertera di trailer season 7 itu beneran langsung nyangkut di kepala saya. Suara Sansa yang adalah Stark. Jauh sebelum nonton GoT, ketika lagi cerita sehari-hari sambil ngedumel, YBS beberapa kali menyebut saya lone wolf.

Situasinya mendukung sih saat itu. Saya enggak ngerasa punya partner yang bisa diandalkan. Saya tahu siapa siapa saja yang mulutnya manis di depan pahit di belakang. Saya dengar kabar yang berbeda-beda dari kubu yang berbeda. Dan saya menolak percaya semuanya.

Susah dipengaruhi orang, susah percaya orang, punya pendirian sendiri, kadang terlalu kuat dan keras kepala memegangnya. Bergabung dengan beberapa gerombolan, tapi hanya memilih attach pada beberapa orang. Senang menyendiri, karena jadi enggak perlu capek-capek adjust sama keinginan orang. Enggak enakan sama orang, tapi kalau ada yang berani lewat garis batas langsung gonggong tanpa peduli siapa orangnya. Duh, YBS pernah bikin tulisan tentang ini untuk saya, tapi enggak ketemu! >.<

pic from here

Enggak mau dipengaruhi, tapi sekaligus terlalu malas memengaruhi. Dulu saya mengamini, meski kalau dipikir-pikir sering begidik juga. Lone wolf terdengar kuat, tapi sekaligus pathetic.

Sampai satu titik, saya mencoba memahami bahwa kita enggak bisa sendirian. Karena saya sadar, seperti yang disebut Sansa, bahwa kita butuh support system. The lone wolf dies, but the pack survives!

Bahkan, ada kalanya kita harus tutup mata (kalau tidak bisa dibilang 'berdamai'), sama orang meski kita tahu ada beberapa hal yang enggak sesuai sama kita. Meski ada nilai-nilai dari dia yang bertolak belakang dari kita.

BONUS

Sebagian orang lebih menarik ketika dia lagi mikir keras sambil sedikit bingung, ketimbang dia tanpa pakaian di ranjang. LOL.

Kalau kata Cinta AADC, cuma Rangga yang bisa keliatan cool saat lagi bingung, buat saya justru Jon Snow yang bisa begitu. Ketika orang-orang riuh ngebahas adegan Jon Snow di gua dan di kapal, saya justru mengulang scene dia lagi kebingungan di tengah-tengah perang dengan white walkers. Mau nyari gif-nya, gak nemu hhhh. Nanti akan dibikin deh~ 

1 comment:

  1. Hallo Brides & Grooms to be.. Buat kalian yang sedang mencari gedung pernikahan full carpet dan nyaman, HIS Balai Sartika Convention Hall Bandung bisa jadi pilihanmu. Selain gedung pernikahan kalian juga tidak perlu repot lagi mencari wedding planner dan wedding organizer, catering, dekorasi, MC, fotografi, prosesi adat, rias busana, wedding car, musik entertainment. Tinggal pilih vendor pilihan kalian saja. Jangan lewatkan bonus menarik seperti Honeymoon 3 hari 2 malam di Bali Prime resort dan cashback 5 juta rupiah, tanpa diundi! Info lebih lanjut bisa hubungi Yesi (WA 085723503203).

    ReplyDelete